Debat calon wakil presiden yang diadakan Komisi Pemilihan Umum, Selasa (23/6) di Jakarta, lebih semarak dilihat dari penonton yang hadir. Namun, bila dilihat dari format, debat berlangsung normatif.
Ruangan Hall Lantai 8 SCTV Tower penuh sesak dengan penonton. Mereka datang dari kalangan pendukung ketiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden, peneliti, pengamat, jurnalis, aktivis lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, dan pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tujuh komisioner KPU, dengan baju seragam batik, duduk di barisan depan.
Tepuk tangan penonton lebih sering terdengar dibandingkan saat debat calon presiden (capres), pekan lalu. Bahkan, tepuk tangan dilakukan pengunjung saat cawapres berbicara. Padahal, sebelum siaran, pengelola SCTV mengingatkan agar tak ada tepuk tangan dari pengunjung sebelum cawapres selesai bicara.
Suasana kian menarik saat memasuki pertanyaan keempat bagi cawapres. Tepuk tangan pendukung masing-masing cawapres lebih sering terdengar. Misalnya ketika Wiranto, yang diusung Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat, menyebutkan pernyataan Prabowo Subianto, cawapres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya, membingungkan, pengunjung langsung bertepuk tangan.
Ketika jeda iklan, ketiga cawapres jarang berbincang-bincang satu sama lain. Ketiganya selalu sibuk dengan tim ahli mereka atau mencatat sesuatu di secarik kertas. Cawapres Boediono, yang diusung Partai Demokrat dan sejumlah partai lain, lebih sering melihat secarik kertas. Bahkan, saat menyampaikan visi dan misi tentang jati diri, sesuai dengan tema debat semalam, ia terlihat membaca catatannya.
Debat cawapres semalam dipandu Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat. Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menilai, debat itu tak berbeda jauh dengan debat capres sebelumnya. Percakapan sangat normatif sehingga sulit melihat posisi yang berbeda di antara calon.
”Jika ada yang berbeda mungkin karena moderatornya lebih rileks. Debat ini tidak cocok dengan level pemilih kita karena percakapannya terlalu tinggi, jauh dari realitas konkret kehidupan rakyat. Debat ini lebih pas di ruang akademik,” katanya.
Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Diponegoro, Semarang, Hasyim Asyari, juga menilai, debat cawapres masih belum membumi sehingga tak bisa menampilkan apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan jati diri bangsa itu. Namun, ketiga cawapres tampil seimbang. Kelemahan penampilan yang diperlihatkan Boediono, misalnya, bisa ditutupi dengan materi pemikirannya. Calon lain, Wiranto dan Prabowo, memang lebih ekspresif dan bisa meyakinkan publik.
”Moderator juga belum menggali perdebatan sehingga ketiga calon masih menampilkan pernyataan normatif. Padahal, ada yang bisa digali lebih dalam dan menarik, misalnya saat terjadi konflik di masyarakat, ketiga calon ada di mana? Karena mereka pernah menjabat,” ujar Hasyim.
Hasyim pun menyesalkan, bahasa sebagai salah satu kekuatan jati diri bangsa, sebagai perekat, tidak dibahas secara mendalam oleh ketiga calon.
Wiranto yang tampil rileks, bahkan dua kali menyanyikan penggalan lagu ”Indonesia Raya” dan ”Ibu Pertiwi”, mengakui, bangsa ini bisa bangkit. Bangkit agar pertiwi tidak berduka.
”Maknanya dalam, penyatuan jiwa dan raga mendorong cipta rasa dan karsa untuk bangsa. Perpaduan kekuatan spiritual dan jasmani mendorong keinginan untuk membela Indonesia. Inilah karakter yang perlu didorong dari bangsa ini,” ujarnya.
Indonesia, menurut Wiranto, punya banyak potensi dan keunggulan komparatif yang luar biasa. Jadi, seharusnya tidak perlu bangsa ini bernasib seperti saat ini. ”Bangsa ini masih terus berutang. Politik tidak membangun kesejahteraan, bahkan justru menyebabkan perpecahan di antara elemen bangsa,” ujarnya.
Menurut Wiranto, Indonesia kehilangan pedoman bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, Indonesia menjadi bulan-bulanan negara lain sehingga tersingkir dan tersungkur dari percaturan global.
Prabowo menilai, akar persoalan bangsa ini terletak pada ketidakmampuan sistem yang dianut sekarang untuk menyelamatkan kekayaan nasional yang tersedot keluar. Padahal, dalam keyakinannya, kekayaan nasional itulah yang bakal menjadi modal utama untuk membiayai berbagai macam kebijakan dan perbaikan di semua sektor dan lini demi terwujudnya masyarakat yang lebih sejahtera.
”Sejarah Indonesia dimulai dari keadaan negara kita yang terjajah. Kekayaan yang kita punya diambil keluar. Namun, sayangnya, sampai sekarang masih banyak masyarakat miskin walau Indonesia sudah merdeka 64 tahun,” ujarnya.
Soal kemiskinan dan jati diri bangsa, Prabowo secara demonstratif menunjukkan uang pecahan Rp 20.000 dari saku bajunya. Ia pun mengingatkan, jangan sampai Indonesia kehilangan jati diri dan menjadi negara kalah karena dianggap sebagai bangsa penyedia tenaga kerja murah dan penyedia bahan baku mentah.
Boediono yang tampil dengan gaya santunnya, tak seekspresif kedua cawapres lain. Ia juga cenderung dalam menanggapi argumen lawan debatnya hanya memberikan pemikiran sehingga lebih tampak untuk melengkapi.
Namun, pernyataan Boediono memperoleh dukungan dari Prabowo, antara lain dalam masalah penempatan agama dalam politik. Mereka sepakat dengan moderator bahwa dalam kenyataannya, agama yang masuk ke ranah politik hanya akan memicu pembusukan.
Menurut Boediono, agama tak selayaknya dijadikan elemen politik praktis. Agama harus berada di atas politik. Untuk itu, negara bertanggung jawab memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga negaranya beribadah sesuai dengan keyakinannya. Selama ini, hubungan agama dan negara kerap kali diwarnai friksi.
.
No comments:
Post a Comment