
.
Ruangan Hall Lantai 8 SCTV Tower penuh sesak dengan penonton. Mereka datang dari kalangan pendukung ketiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden, peneliti, pengamat, jurnalis, aktivis lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, dan pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tujuh komisioner KPU, dengan baju seragam batik, duduk di barisan depan.
Tepuk tangan penonton lebih sering terdengar dibandingkan saat debat calon presiden (capres), pekan lalu. Bahkan, tepuk tangan dilakukan pengunjung saat cawapres berbicara. Padahal, sebelum siaran, pengelola SCTV mengingatkan agar tak ada tepuk tangan dari pengunjung sebelum cawapres selesai bicara.
Suasana kian menarik saat memasuki pertanyaan keempat bagi cawapres. Tepuk tangan pendukung masing-masing cawapres lebih sering terdengar. Misalnya ketika Wiranto, yang diusung Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat, menyebutkan pernyataan Prabowo Subianto, cawapres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya, membingungkan, pengunjung langsung bertepuk tangan.
Ketika jeda iklan, ketiga cawapres jarang berbincang-bincang satu sama lain. Ketiganya selalu sibuk dengan tim ahli mereka atau mencatat sesuatu di secarik kertas. Cawapres Boediono, yang diusung Partai Demokrat dan sejumlah partai lain, lebih sering melihat secarik kertas. Bahkan, saat menyampaikan visi dan misi tentang jati diri, sesuai dengan tema debat semalam, ia terlihat membaca catatannya.
Debat cawapres semalam dipandu Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat. Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menilai, debat itu tak berbeda jauh dengan debat capres sebelumnya. Percakapan sangat normatif sehingga sulit melihat posisi yang berbeda di antara calon.
”Jika ada yang berbeda mungkin karena moderatornya lebih rileks. Debat ini tidak cocok dengan level pemilih kita karena percakapannya terlalu tinggi, jauh dari realitas konkret kehidupan rakyat. Debat ini lebih pas di ruang akademik,” katanya.
Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Diponegoro, Semarang, Hasyim Asyari, juga menilai, debat cawapres masih belum membumi sehingga tak bisa menampilkan apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan jati diri bangsa itu. Namun, ketiga cawapres tampil seimbang. Kelemahan penampilan yang diperlihatkan Boediono, misalnya, bisa ditutupi dengan materi pemikirannya. Calon lain, Wiranto dan Prabowo, memang lebih ekspresif dan bisa meyakinkan publik.
”Moderator juga belum menggali perdebatan sehingga ketiga calon masih menampilkan pernyataan normatif. Padahal, ada yang bisa digali lebih dalam dan menarik, misalnya saat terjadi konflik di masyarakat, ketiga calon ada di mana? Karena mereka pernah menjabat,” ujar Hasyim.
Hasyim pun menyesalkan, bahasa sebagai salah satu kekuatan jati diri bangsa, sebagai perekat, tidak dibahas secara mendalam oleh ketiga calon.
Wiranto yang tampil rileks, bahkan dua kali menyanyikan penggalan lagu ”Indonesia Raya” dan ”Ibu Pertiwi”, mengakui, bangsa ini bisa bangkit. Bangkit agar pertiwi tidak berduka.
”Maknanya dalam, penyatuan jiwa dan raga mendorong cipta rasa dan karsa untuk bangsa. Perpaduan kekuatan spiritual dan jasmani mendorong keinginan untuk membela Indonesia. Inilah karakter yang perlu didorong dari bangsa ini,” ujarnya.
Indonesia, menurut Wiranto, punya banyak potensi dan keunggulan komparatif yang luar biasa. Jadi, seharusnya tidak perlu bangsa ini bernasib seperti saat ini. ”Bangsa ini masih terus berutang. Politik tidak membangun kesejahteraan, bahkan justru menyebabkan perpecahan di antara elemen bangsa,” ujarnya.
Menurut Wiranto, Indonesia kehilangan pedoman bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, Indonesia menjadi bulan-bulanan negara lain sehingga tersingkir dan tersungkur dari percaturan global.
Prabowo menilai, akar persoalan bangsa ini terletak pada ketidakmampuan sistem yang dianut sekarang untuk menyelamatkan kekayaan nasional yang tersedot keluar. Padahal, dalam keyakinannya, kekayaan nasional itulah yang bakal menjadi modal utama untuk membiayai berbagai macam kebijakan dan perbaikan di semua sektor dan lini demi terwujudnya masyarakat yang lebih sejahtera.
”Sejarah Indonesia dimulai dari keadaan negara kita yang terjajah. Kekayaan yang kita punya diambil keluar. Namun, sayangnya, sampai sekarang masih banyak masyarakat miskin walau Indonesia sudah merdeka 64 tahun,” ujarnya.
Soal kemiskinan dan jati diri bangsa, Prabowo secara demonstratif menunjukkan uang pecahan Rp 20.000 dari saku bajunya. Ia pun mengingatkan, jangan sampai Indonesia kehilangan jati diri dan menjadi negara kalah karena dianggap sebagai bangsa penyedia tenaga kerja murah dan penyedia bahan baku mentah.
Boediono yang tampil dengan gaya santunnya, tak seekspresif kedua cawapres lain. Ia juga cenderung dalam menanggapi argumen lawan debatnya hanya memberikan pemikiran sehingga lebih tampak untuk melengkapi.
Namun, pernyataan Boediono memperoleh dukungan dari Prabowo, antara lain dalam masalah penempatan agama dalam politik. Mereka sepakat dengan moderator bahwa dalam kenyataannya, agama yang masuk ke ranah politik hanya akan memicu pembusukan.
Menurut Boediono, agama tak selayaknya dijadikan elemen politik praktis. Agama harus berada di atas politik. Untuk itu, negara bertanggung jawab memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga negaranya beribadah sesuai dengan keyakinannya. Selama ini, hubungan agama dan negara kerap kali diwarnai friksi.
.
Direktur Pusat Kajian Politik UI Sri Budi Eko wardani menanggapi jawaban yang diberikan ketiga pasangan capres. Menurutnya, Mega kurang siap dalam memberikan jawaban karena tidak menyertakan data yang jelas. "Kayaknya Mega kurang diberi masukan oleh tim kampanye-nya tentang alutsista. Mega menyebut data tetapi tidak jelas," ujarnya.
Di tempat yang sama, pengamat politik Syamsuddin Haris menilai jawaban SBY lumayan karena dilengkapi dengan data-data penunjang. Dalam jawabannya, SBY menyebut anggaran alutsista yang dapat dipenuhi saat ini hanya Rp 35 triliun, padahal dibutuhkan sekitar Rp 120 triliun untuk alutsista. SBY juga berjanji akan meningkatkan anggaran alutsista.
"Yang agak lumayan jawabannya Pak SBY, ada angka. Tetapi dia (SBY) tidak jelas kapan itu dapat dipenuhi. Pada tahun keberapa, apa satu tahun, tiga tahun masa pemerintahannya. Itu kapan tidak disebut," paparnya.
Adapun jawaban yang diberikan JK dinilai kurang memuaskan karena tidak didukung data. "Tidak didukung data. Tetapi poin plus Pak JK itu ada. Masalah membangun senjata di dalam negeri. Ini solusi untuuk mengatasi anggaran yang terbatas," tegasnya.
.
DENPASAR, KOMPAS.com - Pesta Kesenian Bali ke XXXI akan menggelar sedikitnya 180 gelar seni dan budaya Pulau Dewata selama 13 Juni hingga 11 Juli dan melibatkan sekitar 14.000 seniman dari berbagai usia. Pesta kesenian rencananya dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 Juni di Taman Budaya (art centre) Denpasar.
Saat pembukaan, sebanyak 3.500 seniman berparade mulai dari depan Lapangan Puputan Badung sampai depan Taman Budaya. Atraksi seni rakyat Bali tahunan kali ini bertemakan Mulat Sarira, kembali ke jati diri menuju kemuliaan berbangsa dan bernegara.
"Tahun ini kami mencoba membuat sedikit berbeda dan memaksimalkan kesenian pertunjukan setiap harinya," kata I Made Santha, Sekretaris Panitia PKB yang juga Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas Kebudayaan Bali , di Denpasar.
Meski tahun lalu tercatat transaksi sekitar Rp 7 miliar, menurut Santha, tahun ini PKB tidak ditujukan untuk tujuan transaksi tersebut. Tahun ini benar-benar untuk pesta kesenian guna menepis opini pasar malam yang melekat beberapa tahun terakhir.
Dalam pembukaan akan digelar sendratari Bima Swarga di panggung terbuka Arda Candra, Taman Budaya. Sendratari tersebut pernah dipentaskan sekitar tahun 80-an dan kali ini dicobakan mengulang sukses dengan melibatkan seniman-seniman tua.
Wayan Dibya, pengamat seni, mengatakan, media terlalu membentuk opini kepada masyarakat soal pasar malam itu. Padahal, persiapan pesta rakyat ini bisa memakan waktu tujuh bulan. Dampaknya pun meluas bagi masyarakat. Karenanya, ia menyambut baik jika tahun ini dikonsentrasikan pada pertunjukan seni. "Seni adalah sarana komunikasi terbaik untuk masyarakat. Karenanya seni rakyat juga untuk rakyat tidak semata-mata pariwisata. Justru pariwisata menjadi nomor sekian di PKB ini," katanya.
Jumlah penonton parade pada pembukaan diperkirakan sekitar 24.000 orang per harinya. Enam negara turut serta memeriahkan PKB yaitu Amerika Serikat, India,Taiwan, Jepang, Thailand, dan Mexico. Sementara dalam negeri sebanyak 19 provinsi seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, Yogyakarta, dan Lombok Barat. Pegelaran seni ini menelan biaya sekitar Rp 3,9 miliar. Rencananya tahun depan dianggarkan sekitar Rp 5 miliar.
Jembatan Suramadu kini telah tuntas seratus persen. Rambu-rambu, marka jalan, dan pembangunan loket tiket Tol Suramadu telah siap dilewati. Rencananya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (10/6), akan meresmikan secara langsung penggunaan jembatan Suramadu. Acara dipusatkan di Kabupaten Bangkalan, Madura. Kedatangan Presiden dan sejumlah tamu undangan nantinya akan disambut iring-iringan lagu mars Suramadu dan kolaborasi seni tari Madura dan Surabaya.
Pascaperesmian, operator tol diserahkan pengelolaannya kepada Jasa Marga selama 18 bulan. Kemungkinan tarif tol dikenakan sebesar Rp 2.500 untuk motor dan Rp 35 ribu untuk mobil. Namun keputusan resminya baru akan diumumkan Menteri Pekerjaan Umum sebelum peresmian. Jembatan Suramadu diperkirakan akan menambah pertumbuhan ekonomi Madura hingga 4,48 persen. Terkait dengan itu Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan menambahkan berbagai fasilitas penunjang
Nyepi is a Balinese "Day of Silence" that falls on Bali's Lunar New Year (March 26, 2009). It is a day of silence, fasting, and meditation. The day following Nyepi is also celebrated as New year Gudi Padva in Maharashtra and Ugadi in Andhra Pradesh and Karnataka in India
Observed from 6 a.m. until 6 a.m. the next morning, Nyepi is a day reserved for self-reflection and as such, anything that might interfere with that purpose is restricted. The main restrictions are: no lighting fires (and lights must be kept low); no working; no entertainment or pleasure; no traveling; and for some, no talking or eating at all. The effect of these prohibitions is that Bali’s usually bustling streets and roads are empty, there is little or no noise from TVs and radios, and few signs of activity are seen even inside homes. The only people to be seen outdoors are the Pecalang, traditional security men who patrol the streets to ensure the prohibitions are being followed.
Although Nyepi is primarily a Hindu holiday, non-Hindu residents of Bali observe the day of silence as well, out of respect for their fellow citizens. Even tourists are not exempt; although free to do as they wish inside their hotels, no one is allowed onto the beaches or streets, and the only airport in Bali remains closed for the entire day. The only exceptions granted are for emergency vehicles carrying those with life-threatening conditions and women about to give birth.
On the day after Nyepi, known as Ngembak Geni, social activity picks up again quickly, as families and friends gather to ask forgiveness from one another, and to perform certain religious rituals together.
First, The Melasti Ritual is performed at the 3-4 previous day. It is dedicated to Sanghyang Widhi/Vishnu-Devas-Bataras and is performed at the beach to respect them as the owner of The Land and Sea.
Second, The Bhuta Yajna Ritual is performed in order to vanquish the negative elements and create balance with God, Mankind, and Nature.
Third, The Nyepi Rituals is performed with the following conditions:
o Amati Geni: No fire/light
o Amati Karya: No working
o Amati Lelunganan: No traveling
o Amati Lelanguan: Fasting
Fourth, The Yoga/Brata Ritual starts at 6:00 AM March 19 and continues to 6:00 AM March 20 (24 hours, dates provided are for 2007).
Fifth, The Ngebak Agni/Labuh Brata Ritual is performed for all Hindu's to forgive each other and to welcome the new days to come.
Sixth and finally, The Dharma Shanti Rituals is performed as the Nyepi Day or "Day of Silence."
Galungan is a Balinese holiday that occurs every 210 days and lasts for 10 days. Kuningan is the last day of the holiday. Galungan means "When the Dharma is winning." During this holiday the Balinese gods visit the Earth and leave on Kuningan.
Occurring once in every 210 days in the pawukon (Balinese cycle of days), Galungan marks the beginning of the most important recurring religious ceremony that is celebrated by all Balinese. During the Galungan period the deified ancestors of the family descend to their former homes. They must be suitably entertained and welcomed, and prayers and offerings must be made for them. Those families who have ancestors that have not yet been cremated, but are still buried in the village cemetery, must make offerings at the graves.
Although Galungan falls on a Wednesday, most Balinese will begin their Galungan 'holiday' the day before, where the family is seen to be busily preparing offerings and cooking for the next day. While the women of the household have been busy for days before creating beautifully woven 'banten' (offerings made from young coconut fronds), the men of our village usually wake up well before dawn to join with their neighbours to slaughter a pig unlucky enough to be chosen to help celebrate this occasion. Then the finely diced pork is mashed to a pulp with a grinding stone, and moulded onto sate sticks that have been already prepared by whittling small sticks of bamboo. Chickens may also be chosen from the collection of free-range chickens that roam around the house compound. Delicate combinations of various vegetables, herbs and spices are also prepared by the men to make up a selection of 'lawar' dishes. While much of this cooking is for use in the offerings to be made at the family temple, by mid-morning, once all the cooking is done, it is time for the first of a series of satisfying feasts from what has been prepared. While the women continue to be kept busy with the preparations of the many offerings to be made at the family temple on the day of Galungan, the men also have another job to do this day, once the cooking is finished. A long bamboo pole, or 'penjor', is made to decorate the entrance to the family compound. By late Tuesday afternoon all over Bali the visitor can see these decorative poles creating a very festive atmosphere in the street.
On Wednesday, the day of Galungan, one will find that most Balinese will try to return to their own ancestral home at some stage during the day, even if they work in another part of the island. This is a very special day for families, where offerings are made to God and to the family ancestors who have come back to rest at this time in their family temple. As well as the family temple, visits are made to the village temple with offerings as well, and to the homes of other families who may have helped the family in some way over the past six months.
The day after Galungan is a time for a holiday, visiting friends, maybe taking the opportunity to head for the mountains for a picnic. Everyone is still seen to be in their 'Sunday best' as they take to the streets to enjoy the festive spirit that Galungan brings to Bali.
The date for Galungan and other special Balinese days is shown on the Balinese Calendar.